Selasa, 24 September 2013

Di Kafetaria

Entah sudah berapa kali mereka berbincang, bukan untuk menghujat waktu yang mereka gunakan, hanya saja dahaga ini sudah terlalu kering menanti asupan air. Mungkin gerutu saya tak akan terdengar, tapi bukankah sudah cukup artitatapan mata ini pada mereka yang terus berbincang tanpa memperdulikan minuman saya yang terus berkeringat dari cawannya.

Memang benar saya tak peduli akan masalah hidup mereka yang selagi mungkin sedang mereka bicarakan, dan ... sepertinya mereka juga tidak memperdulikan masalah dari kehidupan saya sekarang, dahaga.

Segelas cairan berwarna bening kecokelatan dengan potongan lemon diatasnya telah mendarat langsung menuju bibir saya, sudah cukup sabar saya untuk tidak membiarkannya memakan waktu lagi dengan menyentuh atap meja.

Kembali kekodratnya mungkin seperti itulah yang bisa saya gambarkan tentang mereka, perbincangan panjang terjadi lagi, kali ini menampilkan sedikit tawa dan perkelahian kecil. Ada perbedaan umur yang jelas tampak pada mereka, seorang pemuda yang sedang lincah-lincahnya bergerak, seorang lelaki dengan kontur wajah yang lebih tegas dibanding yang satunya, dan seorang lelaki lagi masih terlalu cepat untuk dibilang dewasa.

Berbicara tentang masalah hidup, tidak ada yang lebih menyenangkan saat mencurahkannya pada teman, karena terkadang sesuatu yang menyedihkan saja bisa sangat menggelikan dan tak pelak mengundang tawa apalagi dengan hal yang memalukan, saya kira itulah nikmatnya berbagi bersama, pundakmu tak begitu berat menanggung problema disaat temanmu ada membantunya, walau itu hanya sebatas teman jalan semata. Tak bisa dipungkiri memilih teman itu penting dan sudah tabiat untuk membaginya kedalam beberapa ring tertentu, kamar, ruang tamu, or just saya hai.

Saya pikir mereka sudah cukup akrab, terlihat dari tatapan dan polah mereka dalam berinteraksi, cenderung tak ada perbedaan, dan melihatnya sekarang jadi sangat menyenangkan.

Setiap orang memiliki masalah pribadi, tapi tak semua bisa dibagi, apalagi antar lelaki, cemooh lebih kuat daripada nasehat, menerima seperti gengsi yang didewakan kemudian berbicara dalam lamunan.

Mereka terus berbicara, saya menyesap seluruh isi gelas sembari menerka arah pembicaran mereka, harapan saya tergagu pada objeknya, semoga bukan saya. Mata ini sudah terlalu lama menatap mereka, dan kini mulai berprasangka. Ah, sudahlah, hidup sepertinya terus begini.

Sabtu, 21 September 2013

Di Rumah Makan

Malam kala itu tidak begitu gelap, purnama datang disela-sela awan dan mengalahkan cercah gemintang. Segelas teh tarik dingin berada tepat dihadapan saya, tinggal menunggu senampan nasi dan pelengkapnya, beres sudah makam malam saya. Belum berapa lama saya duduk di cafe ini tapi ada saja yang menarik untuk dipikirkan, mulai dari pasangan yang selalu menghina diantara kecut tawa, meja dengan kapasitas layar yang melebihi colokannya, juga seorang pekerja yang cukup letih dengan aktivitasnya namun menyempatkan diri untuk sekedar menyicip segelas kopi.

Ada yang berbeda diujung sana, raut wajah yang acap kali sering saya dapati pada cermin ruang kerja, mimik muka yang menggelambir dalam pantulannya, hidupnya sedang diombang-ambing lautan kertas alphabet bisik saya dalam hati. Acuh, karena saya tak mau alih-alih mengomentarinya malah sifat saya sendiri yang menganga ingin dicela.

Sekali dua kali aku menengok ke arah lelaki itu, sudah agak mendingan pikirku, rautnya tak sekelam tadi, sinar lampu saja sudah berani menfarat pada pelipisnya, itu pertanda baik.

Sembari gigi ini mengunyah asupan-asupan karbohidrat dalam bentuk yang tidak asing, otak saya tak ingin tinggal diam, terus menerka-nerka apa yang baru saja saya lihat. Bagaimana kehidupannya? Apakah ia sudah berkeluarga? Mata kuliah mempersulitnya menuju toga? Atau kehidupan asmara tlah merenggut bahagia harinya?, berulang-ulang kalimat itu merapal pada isi tempurung kepala ini, terganggu?, ah sudah biasa. Entah mengapa raut kerut penuh sembelit itu mengingatkan saya akan kesusahan, kemurungan, kesengsaraan, dan segala sesuatu dari negatifnya sebuah bahasa, padahal bisa saja dia sedang berpikir bagaimana caranya bisa menang pada permainan poker, atau bisa saja dia sedang menikmati erotisme sebuah film pergumulan, atau malah sedang mengingat padanan kata dalam lembar teka-teki silang.

Saya terlalu banyak memikirkan yang tidak penting, mungkin otak ini akan memberontak karenanya, tapi bukankah itu yang terkadang sering terjadi dalam hidup?, karena sifat terlalu sibuk ingin mengenal orang lain sampai bablas tak mengenal diri sendiri.

Menyeruput sisa minuman yang hanya menyisakan dua pecahan es, hidup terlalu singkat untuk tidak mengenal diri sendiri bisik hati.