Jumat, 30 November 2012

Matur Nuwun

Ambil saja
Ku tahu Kau akan menggantinya
Sirnakan
Niscaya Kau tahu yang sepadan
Relakan
Hati ini sudah cukup riskan
Terima
IndahMu pasti adanya

Sukaku bukan untuk mendukaimu
Gamblangku tidak cukup mengajarimu
Tawaku bisik lara bagimu
Hayatku bermimpi pongah denganmu

Kini berdiri saja
Mendengar saja
Bermimpi saja
Kali-kali saja
Bahagia itu ada
Pada waktunya

Pekik mencekik lirik
Sirik menderik larik

Terima untuk apa yang dikasih
Kasih untuk apa yang diterima

Nuhun
Nuwun

Senin, 26 November 2012

Meradu harapan

Dwi warna berpadu satu
Lelah hati menunggu kamu
Harapan ini semua palsu
Air mata berbulir rindu

Tangkup hujan membias cahaya surga
Lini masa mengeja mega suara
Gaung indah bergema raksasa
Peri cantik bermain ria gembira

Selubung kata mengail raga
Mencari aksara di tengah duka
Mencuri paksa sebuah palka
Lubang aib tlah menganga
Rasa mati tak bersisa
Jiwa kandas menampik siksa

Harapan kini membabu
Bukan sejarah tapi menunggu

Rusak saat mengalir
Dengar saat mencibir
Singgung saat melipir
Buta saat menganulir

Menunggu harapan pulang
Relung mengisi sayang
Ada ruang

Sabtu, 24 November 2012

Menunggu untuk disakiti

Lebam terakhir berada tepat di punggung kanannya, itu yang paling berwarna dari yang lainnya. Biru dengan sedikit nila dan bercak merah disekelilingnya, bekas hantaman sebuah benda tumpul yang lumayan keras mengenai punggungnya. Kursi kesayangannya telah patah tak berbentuk, hanya satu batangnya yang masih tertinggal utuh, batang kayu penahan punggung hangatnya saat dia menghabiskan waktu menunggu dia yang datang.

Batang itu juga yang menghantam punggungnya penuh perih suara, dan setidaknya kenangannya akan batang kayu itu bertambah satu lagi di malam itu. Walaupun sebuah kenangan pahit tapi akan membekas selamanya baginya, tidak seperti kenangan manis yang dia rasakan dan terus menghilang.

Aku menyayangimu dengan cukup bertahan.

Kecupan singkat mendarat di kiri sudut bibirnya, tidak tepat memang tapi itu sudah cukup untuknya. Kali ini pagi begitu semerbak dengan ranum putik mawar yang sudah bertengger di samping wajahnya. Lelaki itu telah pergi menuju realita kisahnya dan dia masih terbaring kaku dengan selimut kusutnya serta tumpuk lembaran merah di atas buffet yang lelaki itu tinggalkan.

Sekian lama dia berbaring hanya untuk menguatkan raga dari siksa nikmat semalam, kemudian memilih untuk merenggangkan otot-ototnya dengan membersihkan semua sisa kursi yang hancur berserakan. Batang kayu utuh akan kenangan pun disimpannya dalam celah lemari pakaiannya. Membersihkan diri di bawah pancuran air deras menjadi rutinitas berikutnya, sekaligus berkaca dan menikmati warna-warni kelu sisa kenangan semalam.

Matanya tertuju pada lembar kertas berbeda di atas tumpukan merah pada buffet-nya.
"Beli salep penghilang luka memar. Aku akan ke luar negeri untuk beberapa hari, terima kasih untuk semalam."
Dan surat itu pun berakhir, berakhir pula di tong sampah di kamar itu.

Taxi sudah menunggunya di bawah lobi apartemen, dia pun telah sampai di ambang pintu lobi dengan style necis penuh brand terkenal. Salah satu pegawai apartemen yang sepertinya sudah sangat akrab pun menyapanya.
"Selamat pagi Tuan semoga hari anda menyenangkan."
"Pagi Dopi, kamu juga. Oh ya, tolong kamar saya kamu bersihkan dan ambilkan kursi baru untuk buffet saya." Sembari memberikan beberapa lembaran merah yang diambilnya dari dompet genggamnya, seraya beranjak pergi menuju taxi yang telah menunggunya.
"Terima kasih Tn. Erdan, akan saya selesaikan semua sebelum anda pulang." Dia sudah terbiasa dengan hal itu dan menjadi pelayan favorit Erdan.

Jumat, 23 November 2012

Pedestrian Pagi

Pagi membuka cakrawala dengan dingin menyengat raga, gemetar dahan rindang bergemuruh lirih saat angin menyusup picik diantara batang-batangnya. Semburat warna laut naik keatas langit dengan indah menuju warna yang lebih muda.

Dengan berbalut kain pembebat letih diatas kepalanya, seorang ibu beranjak pergi dari kediamannya menopang delapan botol penuh ramuan unik hasil kerja semalam. "Bakul rejeki" katanya. Selempang batik yang lebih berharga dari kepunyaan mahkota ratu sedang melilit tegas diantara punggung dan dadanya, seperti dia mempertahankan rejeki agar tidak lari kemana.

Pemuda berkulit gelap meninggalkan pub penuh bingar pagi ini padahal musik telah padam sejak tiga jam lalu, dia hanya tak ingin kembali pada realita hidupnya terlalu cepat dan memilih untuk tetap dalam khayalan cerianya walau untuk tiga jam saja.

Ketukan beraturan sepasang kaki remaja menjejak tanah, mulai menggerayangi pagi disebuah jalan perkampungan. Sedikit tawa, obrolan, dan cemas berpadu dalam wajah-wajah segar diatas seragam putih abu-abu tersebut, membicarakan segalanya mulai dari kisah sinetron yang mereka tonton semalam hingga tugas sekolah yang baru mereka ingat di pagi ini. Tidak lagi beraturan, mereka sudah berlari limpung menuju sekolah mereka sesaat setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 07.45 WIB.

Tangis menghempas hening di sebuah rumah yang tadinya masih terlihat sunyi, seorang bayi sedang meronta memekik telinga para tetangga karena kenyamanannya akan pulas tidur terganggu kehendak pencernaan. Popok yang terpakai sudah terlalu basah baginya dan bukan tugasnya untuk menggantinya sendiri dengan yang baru.

Tetes demi tetes itu telah kering di pagi harinya, hanya jejak putih yang tertinggal. Senyum mengawali hari karena ia yakin duka telah terhempas pergi seperti kelam malam berganti terang benderang walau bekas itu masih ada di ujung matanya tepat di atas senyuman pagi.

Cicit meradu sendu mengingat malam yang mulai terbang, pagi menanti siang yang memuja malam.

Rabu, 14 November 2012

Citra Kerudung Koloni Muda

Temaram maghrib menyapa bumi milik-Nya, adzan berkumandang dengan merdu di mesjid terdekat dari tempat ini. Warung kopi modern ternama di Kota Banda Aceh masih menunjukkan geliatnya hanya saja pintu diare bawah ditutupsekilas agar menaati peraturan yang telah ditetapkan di provinsi ini. Satu persatu dari mereka yang masih mengimani agamanya menghadap Yang Maha Esa pada mushalla yang telah tersedia di tempat itu.

Satu pandangan yang menggelitik saya selaku penikmat tempat pada maghrib itu adalah koloni wanita berkerudung apik (red: hijabers). Mereka tidak langsung mengambil wudhu dan melaksanakan tugas mereka selaku hamba, malahan asyik berfoto-foto ria disalah satu sudut ruangan. Respect saya sangat baik saat melihat mereka datang dengan dandanan trendi khas muslimah muda dengan tingkat kepercayaan diri melampaui ambang batas, namun setelah apa yang dilakukan setelahnya membuat saya berpikir cukup banyak dalam eksistensi pemakaian hijab pada remaja putri.

Jika masih berpendapat, mungkin mereka lagi "kotor", memang wanita kalau lagi "dapat" bisa kompak gitu satu koloni???. Saya lagi malas berkompilasi dengan banyak pendapat mungkin saat itu, tapi semakin ganjeng otak ini karena pada saat saya shalat mereka malah tidak berhenti untuk sekedar tertawa dengan suara yang cukup lantang. Posisi duduk mereka memang tepat disebelah mushalla jadi tak hayal riuh mereka dapat mengganggu kenyamanan peristiwa sakral manusia dengan Tuhannya.

Citra untuk mereka para penikmat hijab secara absah menjadi berkurang dengan adanya mereka yang hanya memakainya untuk sebatas trend masa kini tapi tidak dari dalam kalbu. Saya sendiri sangat menyukai mereka para wanita yang bisa menampilkan diri sebagai muslimah dengan gaya yang sesuai umur namun tidak melupakan tartib pemakaiannya. Itu secara tidak langsung akan memperlihatkan bagaimana kerudung itu bisa sangat nyaman dan bagus jika dipakai dengan benar, tapi lain jika yang terpampang adalah seperti gambaran koloni wanita pertama tadi, bisa jadi pepatah "gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelanga" benar adanya.

Jadi teringat pada hal lainnya...

Sudah sering terlihat dengan mata ini bagaimana provinsi yang sering disebut serambinya Negara Suci itu menjaga ketat para warganya dalam berbusana sehari-hari. Tapi belum terpikirkan bagaimana jika kamu yang berada di dalam daerah tersebut merasakan apa yang sedang digembar-gemborkan tidak demikian yang terjadi dalam masyarakat. Kerudung tipis membalut kepala dengan gontai menelaah helai rambut, baju melinkar tipis menyaingi kulit ari berada tepat diseputaran pangkal lengan hingga pergelangannya. Sekarang, style atau tipe-tipe baju seperti itu sedang "in" dikalangan mereka seperti brokat halus tanpa pelapis dan sifon lembut terawang nampang. Suka atau tidak ya begitulah adanya. Tertutup atau tidak ya terima saja untuk melihatnya.

Terkadang terbersit dalam pikiran saya mungkin sebagai warga, mengapa harus memaksakan jika warganya sendiri belum siap untuk menerima kodratnya sebagai hamba. Apa gunanya jika mempercayai kerudung sebagai penutup kepala yang hakiki tapi menjuntaikan rambut dari dalamnya menjadi tren yang makin digemari. Kalau saya lebih baik mereka tidak memakainya sama sekali daripada membuat orang lain berdosa, bukan karena melihat ya, tapi lebih kepada mencela terhadap si pelaku. Stigma yang bermain disini, positif atau negatif ya tergantung nafsu dari yang lihat. Pendapat yang mengatakan kalau tidak di rubah sekarang bagaimana nantinya, dan itu kami mengaturnya dalam setiap peraturan, lah percuma aja diatur dalam peraturan, kalau dirumah yang ngatur sendiri masih berlaku hal yang sebaliknya bukan.

Bukannya tidak menyukai apa yang telah ditetapkan, sangat bangga malah, membuat sesuatu yang biasa menjadi khas didaerahnya dan ini berawal dari kejadian yang tak terduga. Tapi bukankah semuanya harus berasal dari hati masing-masing tanpa paksaan pihak asing.

Sepertinya tertawa membuat segalanya terlihat menakjubkan dan menyedihkan disaat yang bersamaan.

Baik dan yang terbaik itu berbeda bukan.

Jumat, 02 November 2012

Siapa Menjadi Siapa

Whether we like Demon and Angel !!!
3:) and (:O


Aku menelaah malam lebih gelap darimu. Menelusuri genangan pahit dari banyak manusia yang merasakan getir perih denting jam yang berlalu di siang harinya. Black. Hindar mengitari, tidak mendekat. Mengambil jarak hingga pendar berganti gelap dan terus mengelilingimu.


Kau muncul dengan bayangan putih penuh benderang sinar dan pantulan yang menyilaukan jasad tubuh penuh luka nestapa. White. Temaram pun tak berani mendekat, seakan dia tahu apa arti sinar dalam kematiannya.


Saatnya nanti, aku kan mendekapmu dengan lebih kerap hingga nafas kita seiring berjalan mengikuti ritme detik jarum tercepat pada penunjuk waktu. Grey. Bagaimana aku menerima cahayamu memasuki relung lubang penuh gulita dan kau menari diatas kelam sembari sedikit mencicip apa yang sebelumnya tak pernah kau tahu akan indahnya temaram dalam kesempurnaan malam.



Bukit bercerita banyak tentang sinar yang didapatnya penuh dari si pemilik jagad tata surya kepadamu, begitu juga aku, yang mendengarkan dia bercerita tentang kelam sempurna yang di terima saat si pemilik sinar hanya bisa berada di balik tumpukan sedimen yang alpa jika ku beberkan satu per satu.


Titik demi titik berkumpul hingga berkas cahaya mulai terasa dipelupuk yang lebih memadai untuk dikenang. White. Bukan sebagai pahit yang akan terasa di pangkal sebuah rasa tapi sebagai manis yang lebih diinginkan pada permulaan sebuah rasa hingga patut untuk di gemarkan.


Sudah seperti titik keseimbangan dalam purwarupa yang menyiratkan beban kelam dan cahaya. semuanya berkata takkan bisa saling bersama tanpa sebuah pertengkaran tapi sepertinya titik itu tetap tidak bergeming, mungkin satuan perekat terhebat tlah beralas kuat di titik itu hingga lisan dan tulisan tak seperti yang mereka harapkan.


Tentang babak kehidupan yang dimulai dari sebuah percakapan akan rasa. Colour. Rasa dari seluruh indera yang bisa menuang apa yang dirasakan rasa. 


Kamu yang mulai mendekati kelamku, dan aku yang mulai mengerti sinarmu.
Gelisahku untuk menujumu.


Karena bingungku akan siapa menjadi siapa?
(Demon or Angel)




3;) ---- (;O